Qiroah Sab'ah

Posted by Wafie Senin, 06 Mei 2013 5 komentar

Mengenal Qira’ah As Sab’ah
Qira’ah yang mutawatir adalah Qira’ah As Sab’ah (tujuh) yang termasyhur. Qira’ah yang mutawatir itu disampaikan kepada kita dari para "Qurra’" yang "huffadz". Mereka terkenal dengan hafalan, kekuatan ingatan dan kejujurannya. Mereka menukil qira’at para shahabat yang mendengarkan langsung ayat-ayat Al Quran dari Rasulullah.*Tujuh Imam Qira’ah As Sab’ah*Untuk melestarikan qira’ah as sab’ah, yang mulai kita lupakan, bahkan saat ini banyak yang belum mengerti tentang qira’ah sab’ah, maka kita perlu kembali pada sejarah dan mengenal imam "qurra’"tujuh yang masyhur. Qira’ah yang mutawatir yang dinuqilkan kepada kita itu adalah dari para "Qurra’" yang" huffadz". Mereka terkenal dengan hafalan, kekuatan ingatan dan kejujurannya. Mereka itulah para imam qurra yang termasyhur yang menuqilkan kepada kita qira’ah sahabat dari Rasulullah. Mereka jelas mempunyai kelebihan ilmu dan pengetahuan terhadap kitab Allah, sebagaimana telah disinggung oleh Raulullah: “"Sebaik-baiknya kamu adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya"”.
Inilah biografi singkat dari  7 Imam Qira’ah As Sab’ah :
  * Ibnu Amir
Namanya Abdullah Al-Yuhsibi, pernah menjabat qadhi di Damsyiq pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul Mulk. Dia diberi nama panggilan Abu Imran. Dialah seorang tabi’in yang mengambil qiraah dari Mughirah bin Abi Syihab Al-Makhzumi, dari Utsman, dari Rasulullah. Dia meninggal di Damsyiq tahun 118 H. Ada dua orang yang terkenal meriwayatkan qira’ahnya yaitu Hisyam dan Ibnu Dzakwan. Penulis kitab Asy-Syathibiyyah mengatakan: “Adapun Damsyiq adalah kampung (negri) Ibnu Amir. Sedangkan Hisyam dan Dzakwan adalah dua orang yang meriwayatkan qira’ahnya.”
  * Ibnu Katsir
Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibdu Katsir Ad-Dari Al-Makiyyi. Dia Imam dalam hal qira’ah di Mekkah. Dia seorang tabi’in dan pernah berjumpa dengan sahabat Abdullah bin Zubair, Abu Ayyub Al-Anshari dan Anas bin Malik. Dia meninggal di Mekkah tahun 120 H. Dua orang yang terkenal meriwayatkan qira’ahnya, yaitu Al-Bazzi (meninggal tahun 250 H) dan Qunbul (meninggal tahun 291 H) penulis kitab Asy-Syathibiyyah mengatakan: “Mekkah itu tampat tinggal Abdullah Ibnu Katsir. Sedangkan yang meriwayatkan qira’ahnya adalah Ahmad Al-Bazzi dan Muhammad Ali yang nama sanadnya dilaqabi Qanbul”
  * Ashim Al-Kufiyyi
Dia adalah Ashim bin Abi Najwad Al-Asadi. Dia sering dipanggil Ibnu Bahdilah. Nama panggilannya Abu Bakar dan dia adalah seorang tabi’in. Meninggal di Kufahtahun 127 atau 128 H. Yang meriwayatkan qira’ah darinya adalah syu’bah (wafat tahun 193 H) dan Hafsh (wafat tahun 180 H). Penulis kitab Asy-Syathibiyyah mengatakan: “Di Kuffah Al-Gharra’ ada tiga orang yang keharuman mereka melebihi wangi-wangian dari cengkih Abu Bakar atau Ashim adalah panggilannya yang utama meriwayatkan darinya adalah syu’bah yang terkenal dan Hafs yang terkenal dengan ketelitiannya itulah murid Ibnu Iyasy atau Abu Bakar yang diridhai.”
  * Abu Amr
Nama lengkapnya Zayyan bin Al-’Alla’ bin Umar al-Bashri, syekh para perawi. Dikatakan pula dengan nama Yahya, juga Kunaitah. Meninggal di Kuffah tahun 154 H. Yang meriwayatkan darinya adalah Ad-Duri (wafat tahun 246 H) dan Susi (wafat tahun 261 H). Penulis kitab Asy-Syathibiyyah mengatakan : “Imam Muzini yang dipanggil Abu Amr Al-Bashri putra Al-’Alla ia menurunkan ilmunya pada Yaya al-yazidi namanya populer bagai sungai Eufrat Abu Amr Ad-Duri orang paling shaleh diantara mereka.”
  * Hamzah Al-Kufi
Nama lengkapnya Hamzah bin Habib bin Immarah Az-Zayyat Al-Faradhi At-Taimi maula (bekas hamba) Ikrimah bin Rabi’ At-Taimi. Nama panggilannya Abu Immarah. Dia meninggal di Halwan pada masa khalifah Abu Ja’far Al-Manshur tahun 156 H. Adapun yg meriwayatkan darinya adalah Khalaf (wafat tahun 229 H) dan Khallad (wafat tahun 220 H) lewat (dengan perantaraan) Salim. Penulis kitab Asy-Syathibiyyah mengatakan: “Ada lagi Hamzah si wara’i yang jatuh hati pada Al-Qur’an meriwayatkan darinya adalah Khalaf dan Khallad dengan perantara Salim.”
  * Nafi’
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abi Na’im Al-Laitsi, dia berasal dari Ashifahan, dan terkenal sebagai pakar Qurra’ di Madinah tahun 169 H. Yang meriwayatkan darinya adalah Qalun (wafat tahun 220 H) dan Warasy (wafat tahun 197 H). Penulis kitab Asy-Syathibiyyah mengatakan: “Adalah Nafi’ seorang terhormat lagi harum namanya memilih tempat di Madinah Qalun Isa dan Utsman Warasy sahabat mulia yang mengembangkannya.”
  * Al-Kasai
Nama lengkapnya adalah Ali bin Hamzah, seorang imam nahwu bagi orang-orang Kuffah. Nama panggilannya Abul Hasan. Sedang dinamakan Al-Kasai, karena ketika ihram dia memakai pakaian kebesaran (kisa). Dia meninggal di Ranbawiyyah, sebuah kampung di desa Ar-Rai, ketika hendak pergi ke Hurasan bersama Ar-Rasyid tahun 189 H. Orang yang meriwayatkan darinya adalah Abu Al-Harits (wafat tahun 242 H) dan Ad-Duriy (wafat tahun 246 H). Penulis kitab Asy-Syathibiyyah mengatakan: Adalah Ali yang panggilannya Al-Kasa’I karena “kisa” pakaian ihramnya yang neriwayatkan darinya adalah Abu Harits dan Hafsh Ad-Duriyyi.Adapun qira’ah (bacaan Al-Quran) yang lazim digunakan oleh mayoritas umat islam (terutama di Indonesia) adalah qira’ah yang diriwayatkan oleh Imam Hafash dari ‘Ashim salah seorang dari imam Qira’ah Sab’ah.Hafash adalah Abu Umar Hafsh bin Sulaiman bin Al-Mughirah Al-Bazzaz. Lahir tahun 90 Hijriyah dan wafat tahun 180 Hijriyah. Beliau adalah seorang yang ‘alim dan yang paling tahu tentang qira’at ‘Ashim. Beliau belajar Al-Quran dari ‘Ashim lima ayat-lima ayat seperti cara belajarnya anak kecil.‘Ashim adalah Abu Bakar ‘Ashim bin Abi An-Najudi Al-Kufi bin Bahdalah. Wafat di akhir tahun 128 Hijriyah. Beliau adalah seorang yang fasih bahasanya, ahli dan tekun dalam menulis Al-Quran dan tajwid, serta memiliki suara yang sangat merdu. Beliau belajar qira’at kepada Abu Abdur-Rahman Abdullah bin Habib As-Sulami. Abu Abdur-Rahman belajar Al-Quran kepada para Shahabat radhiyallahu’anhum yaitu ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud dan Zaid bin Tsabit.
*Khatimah/Penutup*Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab “Shahih”-nya bahwa ‘Umar bin Khattab ra. berkata : “Aku mendengar Hisyam bin Hakim sedang membaca surat Al-Furqan. Kuperhatikan bacaannya, dan kudapati ia membaca dengan dialek (atau susunan huruf-huruf) yang tak pernah dibacakan Rasulullah kepadaku. Hampir saja aku melompat ke arahnya yang sedang shalat, tapi aku bisa menahan diri sampai ia mengucapkan salam. Aku tarik dan kuikat ia dengan selendangnya, dan aku tanya : “Siapa yang mengajarimu surah yang aku dengar tadi?” Hisyam menjawab : “Rasulullah!” Aku berkata : “Kamu berdusta! Rasul mengajarkan kepadaku tidak seperti yang kau baca.” Lalu aku membawanya menghadap Rasulullah Saw dan kukatakan kepada beliau : “Aku telah mendengar orang ini membaca surah Al-Furqan dengan huruf (yakni bacaan) yang belum pernah Anda ajarkan kepadaku.” Rasul menjawab : “Lepaskan dia!” Kemudian Rasulullah saw berkata kepadanya : “Bacalah surah itu hai Hisyam!” Hisyam-pun membaca dengan bacaan yang aku dengar tadi. Lalu Rasulullah Saw bersabda : “Memang demikian ayat itu diturunkan.” Kemudian beliau berkata kepadaku : “Bacalah surah itu hai Umar!” Akupun membaca (seperti yang diajarkan Rasul) dan Rasulullah Saw kemudian bersabda : “Demikianlah ayat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh cara bacaan), maka bacalah dengan cara yang kau anggap mudah!”.

B.      LATAR BELAKANG TIMBULNYA PERBEDAAN QIRA’AT            Bangsa Arab merupakan komunitas terbesar dengan berbagai suku termaktub didalamnya. Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan kondisi alam, seperti letak geografis dan social budaya pada masing-masing suku. Layakknya Indonesia yang memiliki bahasa persatuan, maka bangsa Arabpun demikian. Mereka menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari kenyataan di atas, sebenarnya kita dapat memahami alasan al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.            Di sini, perbedaan-perbedaan lahjah itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’ah itu sendiri, tidak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafalan al-Qur’an dengan berbagai macam qira’ah. Sabdanya al-Qur’an itu diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf, konteks hadis itu sendiri memberikan peluang al-Qur’an dibaca dengan berbagai ragam qira’ah. Berikut latar belakang adanya perbedaan qiraah :1. Latar Belakang Historis            Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung pendapat ini, yaitu :            Suatu ketika Umar bin Khathtab Ayat Al-Qur’an. Kemudian peristiwa perbedaan membaca ini mereka laporkan ke Rasulullah Saw. Maka beliau menjawab dengan sabdanya, yang artinya :“Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tuju huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu,”            Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad II H, tatkala para qari’ telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mngemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.            Timbulnya sebab lain dengan penyebaran qori’-qori’ keberbagai penjuru pada masa Abu Bakar, maka timbullah qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya perpaduan bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada akhirnya perbedaan qira’at itu berada pada kondisi itu secara tepat.2. Latar Belakang cara penyampaian            Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Dan kalau diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus Umar dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh Nabi sendiri.C.      PENYEBAB PERBEDAAN QIRA’AT            Sebab-sebab munculnya beberapa qiraat yang berbeda adalah :1. Perbedaan qiraat nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, nabi memakai beberapa versi qiraat.2. Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu, hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Qur’an. Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta hin”. Padahal ia menghendaki “hatta hin”. Ada riwayat dari para sahabat nabi menyangkut berbagai versi qiraat yang ada atau perbedaan riwayat dari para sahabat nabi menyangkut ayat-ayat tertentu.3. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa turunnya al-Qur’an.4. Perbedaan harakah atau huruf.D.     SYARAT QIRAAT            Melalui perkembangan ilmu qiraat yang pesat, lahirlah berbagai bentuk bacaan yang semuanya bersumber dari Rasulullah SAW. Hal ini karena pemahaman mereka yang berbeda dalam memahami maksud Rasulullah SAW yang mengatakan Al-Quran itu diturunkan dalam tujuh huruf. Oleh karena itu masing-masing pembawa qiraat mendakwa qiraatnya berasal dari Rasulullah SAW, Hingga di masa itu, belum dirumuskan dan belum dipastikan bacaan mana yang betul-betul dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu, para ulama merumuskan tiga syarat bagi setiap qiraat yang dianggap betul dari Rasulullah SAW:1. Sanadnya Sahih – maksudnya, suatu bacaan dianggap sahih sanadnya apabila bacaan itu diterima darisalah seorang imam atau guru yang masyhur, tertib, tidak ada cacat dan sanadnya bersambung hingga kepada Rasulullah SAW.2. Sesuai Dengan Rasm ‘Usmani – maksudnya, suatu qiraat dianggap sahih apabila sesuai dengan salah satu Mashaf ‘Usmani yang dikirimkan ke berbagai wilayah Islam kerana ia mencakup sab’atu ahruf.3. Sesuai dengan tata bahasa Arab – Tapi syarat terakhir ini tidak berlaku sepenuhnya, sebab ada sebagian bacaan yang tidak sesuai dengan tata bahasa Arab, namun karena sanadnya sahih dan mutawatir yang diriwayatkan dari imam qiraat yang tujuh dan yang sepuluh maupun dari imam-imam yang diterima selain mereka, maka qiraatnya dianggap sahih.            Setiap qiraat yang memenuhi kriteria di atas adalah qiraat yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. Namun bila kurang dari ketiga syarat diatas disebut qiraat yang lemah.E.      MACAM-MACAM QIRAAT·         Dari segi kuantitas1. Qiraah sab’ah (qiraah tujuh)            Kata sab’ah artinya adalah imam-imam qiraat yang tujuh. Mereka itu adalah : Abdullah bin Katsir ad-Dari (w. 120 H), Nafi bin Abdurrahman bin Abu Naim (w. 169 H), Abdullah al-Yashibi (q. 118 H), Abu ‘Amar (w. 154 H), Ya’qub (w. 205 H), Hamzah (w. 188 H), Ashim ibnu Abi al-Najub al-Asadi.2. Qiraat Asyrah (qiraat sepuluh)            Yang dimaksud qiraat sepuluh adalah qiraat tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah tiga qiraat sebagai berikut : Abu Ja’far. Nama lengkapnya Yazid bin al-Qa’qa al-Makhzumi al-Madani. Ya’qub (117 – 205 H) lengkapnya Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrani, Khallaf bin Hisyam (w. 229 H).3. Qiraat Arba’at Asyarh (qiraat empat belas)            Yang dimaksud qiraat empat belas adalah qiraat sepuluh sebagaimana yang telah disebutkan di atas ditambah dengan empat qiraat lagi, yakni : al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), Muhammad bin Abdurrahman (w. 23 H), Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi an-Nahwi al-Baghdadi (w. 202 H), Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad asy-Syambudz (w. 388 H).·         Dari segi kualitas            Berdasarkan penelitian al-Jazari, berdasarkan kualitas, qiraat dapat dikelompokkan dalam lima bagian:1. Qiraat Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta.2. Qiraat Masyhur, yakni qiraat yang memiliki sanad sahih dengan kaidah bahasa arab dan tulisan Mushaf utsmani. Umpamanya, qiraat dari tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda, sebagian perawi, misalnya meriwayatkan dari imam tujuh tersebut, sementara yang lainnya tidak, dan qiraat semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qiraat.3. Qiraat Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan.4. Qiraat Syadz, (menyimpang), yakni qiraat yang sanadnya tidak sahih.5. Qiraat Maudhu’ (palsu), seperti qiraat al-Khazzani.6. As-Suyuthi kemudian menambah qiraat yang keenam, yakni qiraat yang menyerupai hadits Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya qiraat Abi Waqqash.F.       PENGARUH QIRAAT TERHADAP ISTIMBATH HUKUM            Perbedaan antara satu qiraat dan qiraat lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, I’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah tentu memiliki sedikit atau banyak perbedaan makna yang selanjutnya berpengaruh terhadap hukum yang diistinbathkannya.            Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:Firman Allah SA‎WT:يآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ ( المائدة : ٦)“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah: 6)            Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang hendak mendirikan shalat, diwajibkan berwudhu. Adapun caranya seperti yang disebutkan dalam firman Allah di atas. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air.            Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membacaوَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ Sementara riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ .            Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ . Sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepadaوَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ .            Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم , mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:a. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.b. Dalam ayat tersebut Allah membatasi kaki sampai mata kaki, sebagaimana halnya membatasi tangan sampai dengan siku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan.Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at وَاَرْجُلِكُمْ sebagai berikut:a. Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ , akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca majrur disebabkan karena berdekatan denganرُءُ وْسِكُمْ yang juga majrur.b. Lafadz اَرْجُلِكُمْ dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafadz bukan dari segi makna.            Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Immamiyyah cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلِكُمْ . Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi qira’at tersebut. Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).            Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan perbedaan istinbath hukum. Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْdipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut. Dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.G.     KEGUNAAN MEMPELAJARI QIRA’AT            Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an3. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.5. Memperbesar pahala.

5 komentar:

Al Ilma Perpustakaan Islam Digital mengatakan...

Program qiro'ah sab'ah 15 riwayat lengkap audio dan teks Al Qur'an yang sudah diberikan warna untuk membedakan bacaannya.. info lengkap kunjungi link berikut....

http://game4edu.blogspot.com/2013/07/program-qiroah-sabah-15-riwayat_6.html

didinrbg mengatakan...

makasih atas infonya ,ijin share

Wafie mengatakan...

Terima kasih infonya

Wafie mengatakan...

Monggo mas

Unknown mengatakan...

Bagaimana menurut pendapat anda tentang al-qur'an adalah kitab suci yang isinya terjamin sejak saat di turunkan , sementara pada faktanya ada banyak perbedaan bacaan antara satu imam dengan imam lainnya dari qiro'at sab'ah .dan apa hikmah dari perbedaan dalam bacaan al-qur'an

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman